Progresif Edisi 3

Share

Tidak salah jika para kritisi sastra mempertanyakan peran guru terhadap perkembangan sastra di sekolah. Kurangnya kompetensi dan minat guru dalam kesusastraan menjadi persoalan. Pada kenyataannya, siswa disuguhi pembelajaran yang kaku, membaca puisi, menulis puisi, mendengarkan prosa, tanpa adanya diskusi atau mengajak mereka menelaah secara baik dan benar. Kekakuan dalam pembelajaran sastra itu berimbas pada kejenuhan dan cenderung tidak berminat untuk mengikuti pembelajaran sastra.

Kaitan dengan kemampuan guru Bahasa Indonesia dalam kesusastraan memang sangat menyedihkan. Betapa tidak, mereka harus memberikan pembelajaran sastra, sementara kemampuan sastra itu sendiri tidak dimiliki. Padahal sastra merupakan cara yang ampuh membentuk karakter siswa sebagai penerus bangsa yang berbudaya dan beretika.

Persoalan menjadi semakin runyam ketika kita melihat nasib pembelajaran sastra di Sekolah Dasar. Berjubel peran yang harus di pegang oleh guru SD. Dari mulai sebagai administrator, pengajar semua mata pelajaran, ekstrakurikuler dan sebagainya. Padahal pembentukan sikap siswa di SD merupakan suatu masa yang tepat untuk memberikan bekal kesusastraan sejak dini. Ibarat sebuah permainan, pembelajaran sastra di sekolah seperti bermain dalam sebuah labirin yang harus menempuh jalan berliku untuk menemukan pintu keluar. Buletin Progresif Edisi ke-3 ini, mengangkat tema tentang labirin pembelajaran sastra di sekolah. Masih ada waktu untuk memperbaiki kualitas pembelajaran sastra kita di sekolah. Selamat membaca!


Share

Tinggalkan Balasan