Progresif Edisi 1

Perkataan Tantowi Yahya di salah satu iklan televisi benar adanya, bahwa “keterbelakangan sangat dekat dengan kebodohan, dan kebodohan identik dengan  kemiskinan.” Ucapan itu, mengajak kita untuk senantiasa melalui hari demi hari dengan membaca. Agar kita dapat keluar dari jeratan kebodohan dan kemiskinan.

Cukup relevan memang laporan hasil studi penelitian yang dilakukan oleh Vincent Greanery dalam “Literacy Standards in Indonesia”. Dimana kemampuan pendidikan membaca anak-anak Indonesia adalah paling rendah, dibandingkan dengan anak-anak Asia Tenggara. Bahkan, sebuah studi lima tahunan yang dilakukan Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) terhadap minat baca anak Indonesia, membuat kita mengurut dada. Survei yang melibatkan siswa sekolah dasar, menempatkan Indonesia pada posisi 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel. Posisi ini lebih baik dari Qatar, Kuwait, Maroko, dan Afrika Selatan.

Sementara itu, berdasarkan penelitian Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP untuk melek huruf pada 2002 menempatkan Indonesia pada posisi 110 dari 173 negara. Kemudian turun satu tingkat menjadi 111 di tahun 2009. Hal itu merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri. Persoalannya, tindakan apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan daya baca masayarakat Indonesia?
Sebagai warga negara, tentu kita prihatin dan berduka atas hasil penelitian tersebut. Walau kita harus fair dengan prestasi anak-anak super jenius yang berhasil merebut sejumlah prestasi di ajang internasional, tapi jumlahnya sangat sedikit. Sehingga perlu diupayakan adanya jalan keluar (problem solving) yang tepat. Salah satu solusinya adalah dengan membangun budaya baca di berbagai wilayah.

Budaya baca ini hendaknya bisa menjadi bagian dari solusi pemerintah. Bukan hanya menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan an-sich, melainkan tanggung jawab semua pihak. Sehingga “logika umum,” yang hanya membebankan tugas pendidikan membaca kepada lembaga pendidikan harus diubah. Di samping itu, pengadaan buku murah harus menjadi prioritas. Karena mahalnya harga buku di Indonesia merupakan salah satu penyebab rendahnya daya beli masyarakat terhadap buku. Buku di negeri ini lebih identik dengan “kaum terpelajar”, sedangkan masyarakat umum belum familer dengan buku.

Langkah konkretnya, selayaknya pemerintah menggagas “buku murah untuk Indonesia”. Mengingat data CSM (Center for Social Marketing) perbandingan jumlah buku yang dibaca siswa SMA di 13 negara, termasuk Indonesia. Di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca sebanyak 32 judul buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 buku, Singapura 6 buku, Thailand 5 buku, dan Indonesia 0 buku.

Di sisi lain, menghidupkan perpustakaan di daerah. Keberadaan perpustakaan merupakan keniscayaan dalam mengakrabkan buku ke masyarakat. Selama ini, keberadaan perpustakaan di daerah terpencil masih “langka”, bahkan bisa dikatakan tidak ada. Untuk menyiasati hal ini, pemerintah perlu membangun perpustakaan di setiap desa, paling tidak di satu kecamatan terdapat satu. Selain itu, pemerintah bisa mengupayakan perpustakaan keliling, melalui mobil dinas perpustakaan terkait. Mengingat kesadaran membaca di lingkungan masyarakat pedesaan masih sangat rendah.

Daftar Isi:

Buku dan Tradisi Baca [Jendela] | Bertandang ke Rumah Pintar [Cakrawala] | Minat Baca, Siapa Mau Peduli [Kolom] | Kampus dan Masyarakat (Cinta) Buku [Gagasan] | Matematika Bukan Mati-matian [Cermin] | Implementasi RSBI di Pacitan Butuh Kebijakan Operasional [Kenal Tokoh] | Bermimpi menjadi Madrasah Model [Anjangsana] | Sisi Lain Situs Purbakala Sangiran [Telusur] | Wolfram Alpha: Membuat Penghitungan Rumit menjadi Mudah [Iptek] | Ketika Malpraktik Menimpa Dunia Pendidikan [Kajian Buku] | Taubat [Cerpen]