Posdaya; Meretas Keshalihan Sosial

Adalah suatu kewajiban, manusia membantu antar sesama. Yang kaya, membantu yang miskin, yang kuat menolong yang lemah, yang sukses mengajari yang gagal, dan yang pandai mencerahkan yang bodoh. Alih kata, hidup dalam kebersamaan, gotong-royong, guyup rukun, cinta kasih satu sama lain (Q.S. Al-Maidah, 2). Inilah karakter dan identitas kebangsaan kita, yang kini mulai hilang.

Menguapnya identitas kebangsaan tersebut, mudah diamati dalam kehidupan keseharian kita. Hal itu terlihat dari beragam fakta kekerasan atas nama SARA (Suku Agama Ras dan Antar Golongan) dewasa ini mudah sekali tersulut, sebut saja kasus di Pekalongan (1995), Tasikmalaya (1996), Rengasdengklok (1997), Sanggau Ledo, Kalimantan Barat (1996 dan 1997) juga di Ambon dan Maluku (1999) dan lainnya (Baca: Amin Abdullah, 2002: 6). Kerusuhan penertiban makam Mbah Priok (23 April 2010). Kasus penyerangan ratusan massa terhadap kelompok Ahmadiyah di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten (6 Februari 2011), kekerasan akibat penistaan agama di Temanggung (8 Februari 2011), peristiwa pembakaran rumah dan mushala di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Sampang di Kabupaten Sampang (29 Desember 2011) dan masih banyak rentetan kasus serupa.

Akumulasi kekecewaan dan penderitaan yang berkepanjangan adalah penyebab utama dari penyakit ini. Padahal, dalam kaca mata kaum sosialis, penyakit semacam ini merupakan penyakit yang sangat mengerikan. Lama-kelamaan penyakit ini akan melahirkan, pudarnya sikap nasionalis, berujung pada hilangnya kepercayaan terhadap eksistensi suatu negara. Meminjam bahasanya Gus Dur, bisa melahirkan terjadinya revolusi sosial. Kalau hal ini tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin revolusi sosial akan benar-benar terjadi.

Tak aneh, jika kerinduan pada karakter dan ciri khas kebangsaan pun mulai mengemuka. Para pengamat, pemerhati, praktisi, agamawan, budayawan, dan politisi acap kali mendiskusikannya. Bahkan pemerintah, melalui Kemendikbud telah menggulirkan disain kurikulum caracter building di dunia persekolahan.

Persoalannya, apakah hal itu cukup? Mungkinkah bisa mengembalikan dan menguatkan jati diri kebangsaan? Pertanyaan itu, menjadi kewajaran di tengah tingginya biaya kerukunan dan kesantunan. Apalagi, pertikaian antar elit negeri semakin menganga. Korupsi, tindak asusila dan anarkisme menjadi panglima.

 

Posdaya Perekat Caracter Building

Menguapnya karakter kebangsaan menjadikan banyak kalangan berfikir keras untuk mengembalikannya, tak terkecuali STKIP PGRI Pacitan. Sebagai lembaga pendidikan dan tenaga kependidikan (LPTK), Kampus Pendidik merasa terpanggil untuk mengupayakan agar jati diri bangsa tetap mengakar di relung-relung masyarakat. Khususnya, di Kabupaten Pacitan sekitar.

Dalam konteks itu, ketika Prof. Dr. Haryono Suyono, M.A., memberikan kuliah umum di STKIP PGRI Pacitan dan mengajak sivitas akademika untuk melaksanakan Program Posdaya, kami pun tanpa pikir panjang langsung menyetujui (20 Februari 2011). Karena visi Program Posdaya dan Kampus Pendidik sama. Yakni, sama-sama berkepentingan untuk memberdayakan dan mencerdaskan kehidupan masyarakat. Melalui tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi, Program Posdaya pun kami semaikan secara pasti.

Pelbagai kebijakan dan strategi pelaksanaan Posdaya telah dirancang dan laksanakan. Di antaranya, melalui KKN Tematik Posdaya yang tersebar di seluruh Kecamatan di Kabupaten Pacitan. Terhitung mulai tanggal 11 Mei hingga 11 Juni 2011 di 22 desa di 12 Kecamatan Pacitan. Hasilnya pun, sangat memuaskan. Indikasinya, dari 455 mahasiswa telah sukses melakukan sosialisasi Posdaya sebanyak 420 kali di 12 kecamatan. Tak kurang, 227 Posdaya telah dibentuk. Praktis, total kegiatan berbasis Posdaya selama KKN tematik Posdaya, sebanyak 647 terlaksana dengan baik.

Di tahun 2012 ini, kami pun akan meneruskan dan memantapkan program KKN Tematik Posdaya tersebut. Setidaknya ada 11 Kecamatan di Kabupaten Pacitan dan 3 di luar Kecamatan Pacitan yang menjadi prioritas. Di sisi yang sama, kami pun mem-back up program tersebut dengan program pendampingan. Di antara, melalui Program Relawan Posdaya dan Pengabdian Masyarakat (Abdimas).

Melalui Program Relawan Posdaya diharapkan dosen bersama mahasiswa dapat ikut serta memberdayakan masyarakat. Jelasnya, Program Relawan Posdaya, ada lima dharma yang mereka laksanakan, yakni: Pertama, dosen dan mahasiswa Relawan Posdaya ikut serta mensukseskan program Posdaya yang telah terbentuk di desanya masing-masing; Kedua, dosen dan mahasiswa Relawan Posdaya menjadi mediator/penghubung kepada pihak Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (STKIP PGRI Pacitan), jika dalam perjalanannya membutuhkan bantuan berupa penyuluh/pemateri baik dari Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) Pacitan, maupun LPPM; Ketiga, Mahasiswa Relawan Posdaya menjadi partner kerja dosen Relawan Posdaya yang dibentuk oleh STKIP PGRI Pacitan untuk menyukseskan program kerja pengurus Posdaya Desa/Kelurahan setempat; Keempat, dosen Relawan Posdaya mempunyai kedudukan sebagai dosen pendamping bagi mahasiswa; Kelima, dosen Relawan dapat membawahi beberapa mahasiswa di lokasi yang berbeda.

Sedangkan, melalui program Abdimas, para dosen didorong untuk melakukan riset terkait dengan sosial kemasyarakatan. Untuk memaksimalkan riset tersebut, para dosen pun diberikan dana hibah penelitian. Tentu, bagi mereka yang proposal dinyatakan layak untuk ditindak lanjuti. Hal ini menindaklanjuti minimnya hasil penelitian dari kalangan dosen. Laporan Jawa Pos (32/1/2011) menyebutkan, bahwa dari jumlah peneliti kita sebesar 71.489 orang bergelar magister, 13.033 orang bergelar doktor, dan 4.500 bergelar profesor. Sayangnya, dalam 10 tahun, hanya 10 dosen yang menerbitkan karya tulis. Padahal, jumlah doktor meningkat tajam. Kemendiknas menyuntik Rp 3 triliun untuk menggandakan jumlah doktor. Targetnya, 5.000 sampai 7.000 doktor baru per tahun. Fakta ini tentu menggelitik kita semua.

Di ranah inilah Kampus Pendidik berkomitmen secara serius untuk ikut serta memberdayakan masyarakat. Adanya KKN Tematik Posdaya, Relawan Posdaya dan Program Abdimas, diharapkan percepatan tri dharma dapat segera terwujud. Muaranya, tentu berujung pada terjadinya keshalihan sosial secara masif. Mengapa demikian? Karena di alam globalisasi, sikap individualis dan materialis harus dilumerkan. Pelumerannya salah satunya dengan penguatan keshalihan sosial, di samping keshaihan individual dan publik. Dengan demikian, identitas Kebangsaan kita bisa tetap terjaga.

 

*) Mukodi, M.S.I., penulis adalah Kepala LPPM STKIP Pacitan